Kajian Aspek Legal dalam Estetika Lingkungan
Oleh:
Listya
Aderina
Muhammad
Guriang
Pranawita Karina
Vina Pratiwi
Pendahuluan
Latarbelakang
Aspek
legal dalam hal estetika masih belum ada, hal tersebut disebabkan pertimbangan
estetika dianggap bukan prioritas. Namun, ketika permasalahan terkait dengan
estetika muncul akan menghasilkan dampak yang signifikan. Mengacu pada RTRW
Nasional, Provinsi maupun Kabupaten/Kota diketahui bagaimana kombinasi
aktivitas manusia, fisik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Hal yang
penting dalam suatu penataan adalah keamanan, keselarasan, dan estetika. Untuk
menjaga kelangsungan estetika yang ada di suatu wilayah diperlukan upaya
peraturan dan perlindungan estetika.
Kajian
yang akan dibahas adalah mengenai perlindungan keserasian design
elemen2/struktur pada lingkungan yang lebih luas (historic, cultural, new design, mixed).
Kawasan yang dibahas adalah wilayah provinsi Bali. Hal yang diatur dalam kasus
ini adalah peraturan mengenai ketinggian dan desain bangunan di Bali. Hal ini
telah diatur dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRWP)
Bali 2009-2029, dimana masih mempertahankan pembatasan tinggi bangunan sebesar
15 meter. Kajian ini akan mengulas bagaimana peraturan (aspek legal) tersebut
diterapkan pada wilayah Bali. Disamping itu akan dibahas tentang relevansi
peraturan pembatasan ketinggian bangunan dengan pembangunan yang semakin meluas.
Hal tersebut menjadi dilematik ketika dilakukan pembatasan ketinggian untuk
perlindungan visual lingkungan, yang terjadi adalah pembangunan secara
horizontal yang belum tentu sesuai dengan daya dukung Bali sekarang ini.
Tujuan
Tujuan makalah ini adalah untuk mengkaji penerapan
Perda RTRW Provinsi Bali mengenai ketinggian bangunan. Disamping itu melakukan
content analysis terhadap permasalahan penerapan Perda RTRWP tersebut.
Pembahasan
Fakta
Pada tahun 1970-an ketinggian bangunan baru di Bali
mengalami pembatasan maksimal setinggi 15 meter, atau 4 lantai, atau dapat
disebut “tidak lebih tinggi daripada pohon kelapa”. Aturan tersebut merupakan
rekomendasi lembaga konsultan Prancis, SCETO. Pada saat itu hanya Hotel Grand
Bali Beach di Sanur saja yang memiliki 10 lantai, karena hotel ini lebih dulu
dibangun daripada peraturan tersebut (1966). Sekarang kebijakan tersebut masih
berjalan, pada pasal 95 ayat 2b Perda RTRWP Bali No 16 Tahun 2009 misalnya:
Nilai
Penting
Penerapan kebijakan/ aspek legal ini memiliki beberapa nilai
penting diantaranya adalah: melalui perhatian terhadap RTRW (penyusunan/revisi)
menjadi bukti masyarakat Bali peduli terhadap tata ruang pulaunya. Rencana tata
ruang akan menentukan kelangsungan generasi sekarang dan seterusnya. Upaya
pembatasan ketinggian bangunan merupakan wujud konservasi bangunan dan lanskap
kota yang bernilai oleh masyarakat Bali.
Analisis Potensi Permasalahan
Terkait
perlindungan dan peraturan estetika, maka hal yang dilindungi dalam hal ini
adalah perlindungan keserasian design
elemen2/struktur pada lingkungan yang lebih luas (historic, cultural, new design, mixed). Hal yang diatur
dalam kasus ini adalah peraturan mengenai ketinggian bangunan di Bali. Hal ini
termasuk mengatur ketinggian maksimum diperkenankannya suatu bangunan, lokasi
penempatan, pengecualian pembatasan ketinggian bangunan untuk beberapa
fasilitas publik dan sebagainya. Berlakunya peraturan ini adalah berdasarkan
Perda, sehingga berlaku pada Provinsi Bali secara keseluruhan. Terkait revisi Perda RTRW terdapat dua
pihak yang memiliki argumen mengenai pembatasan tinggi bangunan 15 meter. Keduanya
berargumen kuat untuk memajukan Bali tanpa mengesampingkan nilai estetikanya. Berikut
merupakan penjelasan kedua pandangan tersebut:
Tabel 1. Dua argumentasi terkait
peraturan yang berlaku.
No
|
Pihak pro-pembatasan
|
Pihak pro-revisi RTRWP
|
1
|
Pembatasan
tinggi bangunan masih tetap relevan untuk menjaga ciri khas Bali dengan
konsep Tri Hita Karana, selaras dengan konsep wisata budaya.
|
Pembatasan
akan berdampak buruk terhadap lahan pertanian Bali. Dengan pertumbuhan
penduduk Bali yang cepat akan memerlukan perluasan wilayah permukiman (secara
horisontal).
|
Konsep
pembatasan tinggi bangunan telah ditetapkan beberapa negara di dunia, misalnya
New York yang menetapkan batasan 12 lantai, kota Paris batas maksimal 25 meter,
bahkan di India batasan tinggi bangunan hanya mencapai 1.3 lantai. Dampak dari
adanya pembatasan tinggi bangunan umumnya memiliki beberapa konsekuensi
seperti:
1.
Gejala
lonjakan harga tanah:
Hal ini akibat terbatasnya lahan
permukiman. Berdasarkan data, pada tahun 2011 kenaikan harga kavling mencapai
34% pertahun, atau sudah mencapai Rp. 300 juta per are (100m2)
selama 5 tahun terakhir. Setara dengan harga tanah di perumahan elit Jakarta.
2.
Meningkatnya
penjualan tanah terhadap investor:
Akibat tingginya harga tanah yang
tidak dibarengi kenaikan pendapatan.
3.
Arus
urbanisasi dari luar kota denpasar atau Bali:
menyebabkan munculnya daerah kumuh
(slum). Perumahan tidak terjangkau lagi. Bali Post menerangkan tedapat 70
lokasi titik permukiman kumuh.
4.
Kepadatan
lalu lintas tinggi:
Berdasarkan data bahwa terjadi
Kenaikan jumlah kendaraan rata-rata 6 persen per tahun sejak 2005, sedangkan
panjang jalan hanya tumbuh rata-rata 2,2 persen per tahun.
Secara umum
pembatasan tinggi bangunan menyebabkan pembangunan lebih bersifat horisontal (samping)
daripada vertikal (ke atas). Kawasan urban menjadi luas dan butuh kendaraan
untuk beraktivitas.
Solusi Permasalahan
Revisi Perda RTRWP Bali jika ingin dilakukan perlu
mempertimbangkan beberapa hal yaitu teknis pengaturan spesifik serta
transparasi. Win win solution yang
dapat diusulkan adalah dengan pemberian izin bangunan tinggi pada bangunan
publik dan atau daerah tertentu (daerah bisnis). Pemberian izin ini sebaiknya
disesuaikan dengan zonasi/ pengaturan penempatannya. Hal tersebut harus mengacu
pada RTRW Nasional maupun Provinsi. Aturan
bagi bangunan publik lebih dari 4 lantai juga perlu penjelasan teknis, misalnya
dengan pembuatan building code.
Aturan yang memastikan setiap bangunan tinggi harus memperhatikan aspek
keselamatan, aspek keserasian dengan lingkungan sekitar, aspek estetika, dan
aspek integrasi dengan budaya Bali. Perda No 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan
Arsitektur Bangunan Gedung, yang saat ini lebih banyak mengatur tentang corak
penampilan arsitektur Bali, perlu diperinci.
Setiap proposal bangunan lebih dari 4 lantai harus melewati
proses dengar pendapat publik. Proposal pun harus dinilai komisi khusus yang
menangani bidang tata ruang. Proposal ini juga harus bisa diunduh dan dikomentari
semua orang melalui internet. Dengan proses ini, tidak sembarangan gedung
tinggi bisa dibangun hanya dengan modal finansial saja. Dengan kebijakan dari
para pemimpin dan wakil rakyat, serta transparansi dan aturan main yang jelas, diharapkan
tidak ada lagi kekhawatiran dari masyarakat akan kesemrawutan, kemacetan, serta
hilangnya ciri khas Bali.
Kesimpulan
Beberapa
aturan maupun upaya perlindungan dan peraturan yang berkaitan dengan estetika
lingkungan sudah diterapkan oleh provinsi Bali melalui RTRWP dan Perda. Namun
peraturan ini masih perlu dikaji lebih rinci lagi agar lebih relevan dengan
kondisi perkembangan Bali saat ini. Revisi dapat dilakukan, dengan memperinci
teknis peraturan tersebut. Setiap
bangunan yang berada di suatu daerah, dalam hal ini Bali maka harus
memperhatikan aspek keselamatan, aspek keserasian dengan lingkungan sekitar,
aspek estetika, dan aspek integrasi dengan budaya Bali. Penerapan dan apresiasi
terhadap peraturan dan perlindungan estetika lingkungan di Bali merupakan wujud
peduli terhadap tata ruang pulaunya dan konservasi bangunan dan lanskap kota
yang bernilai. Setiap pengaturan tata ruang yang ada di daerah perlu mengacu
pada Undang-Undang Tata Ruang yang berlaku No 26 Tahun 2007.
Referensi
Pemerintah Provinsi Bali. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029.
Sudewa A. 2012. Gedung Tinggi di Bali, Siapa
Takut?. [terhubung berkala]. http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2012/03/29/gedung-tinggi-di-bali-siapa-takut.html.
[16
April 2012].
Tidak ada komentar :
Posting Komentar